Tentang jombang

Jombang termasuk Kabupaten yang masih muda usia, setelah memisahkan diri dari gabungannya dengan Kabupaten Mojokerto yang berada di bawah pemerintahan Bupati Raden Adipati Ario Kromodjojo, yang ditandai dengan tampilnya pejabat yang pertama mulai tahun 1910 sampai dengan tahun 1930 yaitu : Raden Adipati Ario Soerjo Adiningrat.
Menurut sejarah lama, konon dalam cerita rakyat mengatakan bahwa salah satu desa yaitu desa Tunggorono, merupakan gapura keraton Majapahit bagian Barat, sedang letak gapura sebelah selatan di desa Ngrimbi, dimana sampai sekarang masih berdiri candinya. Cerita rakyat ini dikuatkan dengan banyaknya nama-nama desa dengan awalan "Mojo" (Mojoagung, Mojotrisno, Mojolegi, Mojowangi, Mojowarno, Mojojejer, Mojodanu dan masih banyak lagi).
Salah Satu Peninggalan Sejarah di Kabupaten JombangCandi Ngrimbi, Pulosari Bareng Bahkan di dalam lambang daerah Jombang sendiri dilukiskan sebuah gerbang, yang dimaksudkan sebagai gerbang Mojopahit dimana Jombang termasuk wewenangnya Suatu catatan yang pernah diungkapkan dalam majalah Intisari bulan Mei 1975 halaman 72, dituliskan laporan Bupati Mojokerto Raden Adipati Ario Kromodjojo kepada residen Jombang tanggal 25 Januari 1898 tentang keadaan Trowulan (salah satu onderdistrict afdeeling Jombang) pada tahun 1880.
Sehingga kegiatan pemerintahan di Jombang sebenarnya bukan dimulai sejak berdirinya (tersendiri) Kabupaten jombang kira-kira 1910, melainkan sebelum tahun 1880 dimana Trowulan pada saat itu sudah menjadi onderdistrict afdeeling Jombang, walaupun saat itu masih terjalin menjadi satu Kabupaten dengan Mojokerto. Fakta yang lebih menguatkan bahwa sistem pemerintahan Kabupaten Jombang telah terkelola dengan baik adalah saat itu telah ditempatkan seorang Asisten Resident dari Pemerintahan Belanda yang kemungkinan wilayah Kabupaten Mojokerto dan Jombang Lebih-lebih bila ditinjau dari berdirinya Gereja Kristen Mojowarno sekitar tahun 1893 yang bersamaan dengan berdirinya Masjid Agung di Kota Jombang, juga tempat peribadatan Tridharma bagi pemeluk Agama Kong hu Chu di kecamatan Gudo sekitar tahun 1700.
Konon disebutkan dalam ceritera rakyat tentang hubungan Bupati Jombang dengan Bupati Sedayu dalam soal ilmu yang berkaitang dengan pembuatan Masjid Agung di Kota Jombang dan berbagai hal lain, semuanya merupakan petunjuk yang mendasari eksistensi awal-awal suatu tata pemerintahan di Kabupaten Jombang


Serajah Kebo Kicak




Bagi si penelurus cerita rakyat, cerita kuno Kebokicak yang telah berkembang menjadi cerita tutur di wilayah Jombang bukanlah perkara gampang untuk dibabar-tuliskan. Satu sisi “sang cerita” telah menempat terutama pada ingatan orang-orang sepuh, dan hal itu sangat memungkinkan untuk terceritakan kembali pada orang lain, pada generasi selanjutnya. Satu kesulitan lain adalah cerita tersebut hingga saat ini tak tertuliskan, atau seandainya sudah ada yang menuliskannya, kita belum mengetahuinya. Artinya dalam konteks filologis adakah manuskrip ihwal cerita Kebokicak nyata-nyata tertemukan dan memiliki jarak masa tertentu sebagaimana yang secara akademis memenuhi persyaratan sebagai sumber keilmuan yang otentik dan akurat, misalnya naskah tersebut telah diserat oleh seorang pujangga di masa lampau, mungkin masanya bisa seratusan tahun silam, dan karenanya jika memang itu ada dapatlah dijadikan rujukan.
Maka yang fiksi dan yang fakta atas nama sebuah cerita, untuk sementara, kita posisikan dulu cerita Kebokicak itu di tengah-tengahnya. Boleh jadi cerita ini adalah dongeng, dan dongeng merupakan jalinan pengisahan dari masa ke masa yang berfungsi sebagai klangenan atau penandaan dari ritus sosial dan muasal lokus yang melatarinya.
Terkait itu, satu gerakan literasi dalam bentuk pelacakan cerita Kebokicak yang dilakukan mahasiswa STKIP PGRI Jombang angkatan 2007, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, patut diapresiasi. Mereka melakukan penelusuran ke berbagai narasumber di Jombang, untuk selanjutnya dibukukan dengan judul Kebokicak Karang Kejambon (Saduran Cerita Rakyat Jombang).
Ada 13 versi cerita Kebokicak di sini yang tidak mengisahkan secara keseluruhan, namun dalam bentuk fragmen atau petilan: 1. Kebokicak Karang Kejambon (Versi Ketoprak). Narasumber: Ki Waras, usia 56 tahun, pimpinan ketoprak dan campursari dari Kedung Doro, Kecamatan Tembelang. 2. Hitam Tidak Menutup Putih (Kemenangan Surontanu), narasumber: Mohammad Kosim, 80 tahun, pemain ketoprak dari Dusun Tengaran RT 1/RW 1, Desa Tengaran, Kecamatan Peterongan. 3. Desa Randu Watang. Narasumber: Ponari, 58 tahun, tokoh masyarakat dari Dusun Dero, Desa Kedung Betik, Kecamatan Kesamben. 4. Mati Satu, Harus Mati Semua (Mukti Siji Mukti Kabeh). Narasumber: Ki Harya Yahmad Hadi Pranoto, 58 tahun, seorang dukun dari Desa Brangkal, Kecamatan Bandar Kedung Mulyo. 5. Relikui Kebokicak Mosaik Jombang. Narasumber: Pariyadi, 64 tahun, seniman ludruk dari Gudo, dan Mbah Nur, 66 tahun, seorang guru spiritual dan pemuka agama Hindu dari Jl. Kandangan 24, Dusun Ngepeh, Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro. 6. Telatah Surontanu. Narasumber: Purwito, 57 tahun, ia mengaku sebagai keturunan ke-4 Surontanu yang tinggal di Dusun Sumonyono, Desa Cukir. 7. Joko Tulus (Kebokicak Karang Kejambon). Narasumber: Sukono, 58 tahun, Jl. Mojoanyar Gang 7, Bareng. 8. Banteng Tracak Kencana. Narasumber: Jamadi, 80 tahun, Desa Sumber Nangka, Kecamatan Tunggorono. 9. Legenda Jombang (Pertarungan Kebokicak Surontanu). Narasumber: Ngaidi Wibowo, 63 tahun, lahir 10 Oktober 1947, Desa Dukuh Klopo, Kecamatan Peterongan. 10. Kebokicak Karang Kejambon. 11. Napak Tilas Joko Tulus. Narasumber: Abdul Hafidz, 80 tahun, tokoh masyarakat Dapur Kejambon, Kecamatan Jombang. 12. Perebutan Kidang Tracak Kencana. Narasumber: Katijan, 70 tahun, ia adalah seorang dalang, guru karawitan dan guru sinden, tinggal di Jombatan Blok O No. 19, Kecamatan Jombang. 13. Dewi Mangurin dan Joko Tulus. Narasumber: Saleh, 81 tahun, di Desa Dapur Kejambon, Kecamatan Jombang.
Dari semua petilan cerita Kebokicak di dalam buku tersebut menghadirkan corak yang berbeda-beda. Ada beberapa yang singkron. Ada juga yang untuk sementara perlu diperjelas manakah pakem atau cerita baku dari keseluruhan cerita Kebokicak. Sebab tak ada otoritas yang bisa dikatakan ini yang sah atau pun itu yang pakem dari kisah Kebokicak ini. Kiranya perlu pula upaya penulisan cerita ini terus dieksplorasi lebih dalam, konprehensif, dan bagaimana memilih informan yang benar-benar tepat yang selanjutnya data-data wawancara tersebut paling tidak mendekati pada semacam keselarasan dan “satu arus” yang merujuk pada kisahan Kebokicak yang akurat dan yang sebenarnya. Ini menjadi penting untuk pengembangan penelitian ke depan.
Jika merujuk pada penelitian skripsi yang dilakukan oleh Puspita Indriani, mahasiwa Unesa, dengan judul Pengaruh Cerita Rakyat Kebokicak Karang Kejambon Terhadap Masyarakat Pendukungnya (2003), menyebutkan bahwa versi cerita Kebokicak dibagi menjadi dua. Pertama versi abangan, dan yang kedua versi santri. Versi pertama menitik-beratkan pada masa kerajaan Majapahit saat rajanya adalah Brawijaya V. Yang kedua, versi santri yang menyiratkan masa Brawijaya V juga, namun anasir pesantren di daerah yang kini disebut Tebuireng itu dimunculkan dan menjadi lokus sentral.
Selain kita bisa membaca dan menilai dari 13 cerita tersebut, saya ingin melongok sisi lain dalam versi santri serta selubung silsilahnya dan cerita Kebokicak yang sudah pernah ditulis dalam bahasa Jombangan (ludrukan) oleh tokoh ludruk Jombang, Ngaidi Wibowo.
            Pada kisaran akhir 2008, saya melakukan wawancara perihal cerita Kebokicak dengan Kiai Hafidz dari Dapur Kejambon. Tuturan kiai ini saya susun demikian:
Tersebutlah sosok yang bernama Ki Nur Khotib, ia adalah menantu Kebokicak yang kala itu menjadi demang Karang Kejambon, yang ditunjuk oleh kerajaan Majapahit. Istri Ki Nur Khotib adalah putri Kebokicak, namanya Wandan Manguri. Wandan Manguri ini merupakan cucu dari Brawijaya V dari istri Wandan Kuning. Wandan Kuning memiliki 2 anak. Yang pertama yakni Raden Bondan Kejawan atau Lembu Peteng. Yang kedua adalah Wandan Wangi. Semenjak Wandan Kuning mengandung jabang bayi berupa Wandan Wangi, Brawijaya V sebagai suaminya menyerahkan istrinya tersebut kepada Mbah Pranggan di daerah Karang Kejambon. Ketika Wandan Wangi dewasa dikawinkanlah ia dengan Demang Kebokicak. Maka, Kebokicak merupakan menantu dari Brawijaya V. Mbah Pranggan adalah bapak tiri Wandan Wangi, dan Kebokicak adalah mantu tirinya (silsilah ini atas anjuran Kiai Hafidz perlu ditaskhihkan kepada Kiai Jamal di Ponpes Al-Mihibbin Tambak Beras Jombang, di mana beliau dianggap memiliki rekam-jejak yang baik terkait itu).
Kiai Muchtar konon berasal dari Banyuarang, Ngoro. Ia memiliki putra bernama Kiai Nur Khotib. Kiai Nur Khotib kemudian berhijrah ke Gembong Lekok, Pasuruan, dan dimakamkan di sana. Ia memiliki 2 putra: pertama Mbah Suropati atau Mbah Angklung. Yang kedua adalah Mbah Ali. Mbah Ali memiliki putri bernama Rubaniyah yang diperistri oleh santri pondok pesantren Mimbar dari Sambong yang bernama Nuruddin asal Sendang Duwur, Lamongan. Nuruddin dimakamkan di Desa Banggle, dan nama makamnya dikenal dengan sebutan Makam Mbah Surgi. Putra kedua Mbah Ali adalah Kiai Umar di Kapos. Mbah Ali wafat di Mekah sewaktu menjalankan ibadah haji bersama 4 putranya. Pulang dari Mekah tinggal 3 orang anak: Mbah Kiai Zen, Mbah Kiai Idris, dan Mbah Kiai Abdullah. Kiai Ali konon merupakan syekh pertama dari Jawa Timur. Menurut cerita tersebar, putra Kiai Umar adalah Kiai Farhan, dan Kiai Farhan adalah kakek Kiai Hafidz.
            Baiklah, sekarang, saya coba memasuki cerita Kebokicak dari versi ludruk yang pernah dipentaskan dan disutradarai oleh Kiai Farhan, Pak Ngaidi Wibowo, dan beberapa sutradara ludruk lainnya pada tahun 1970-an. Pada pengujung 2008, saya melakukan wawancara untuk penulisan Sejarah Ludruk Jombang, saya menyambangi Carik Karsono di Dusun Jalinan. Ia adalah tokoh gaek Ludruk Kopasgat yang pernah jaya di tahun 1980-an. Sudah lama ia meludruk bahkan sebelum Gestok 1965. Ketika itu ia sempat bercerita sekelumit tentang lakon Kebokicak yang pernah diludrukkan. Pada dan dari orang lain, adalah Agus Gundul, ia tak lain adalah putra Carik Karsono. Pada malam yang sama, setelah saya tak bisa secara lengkap mewawancarai Carik Karsono karena sesuatu hal, maka saya teruskan ngobrol “saut manuk” (tentang apa saja) dengan Agus Gundul. Ia menceritakan bahwa bapaknya memiliki manuskrip Kebokicak atau sebut saja serat Kebokicak. Nama penyeratnya tidak diketahui. Carik Karsono tidak pernah menunjukkan padanya, hanya menceritakannya. “Serat” itu dianggapnya gaib, karena kadang muncul, kadang menghilang sendiri. Jadi, ada kesan klenik dari potongan cerita ini. Tapi abaikan saja untuk sementara.
Mari kita tengok apa yang ditulis Ngaidi Wibowo sebagai sutradara ludruk yang menurutnya pernah sampai 2 atau 3 kali mementaskan lakon Kebokicak dan ternyata berhasil. Mitos membuktikan, bahwa ada beberapa grup ludruk yang tidak mencukupi syarat-syarat sesajen saat memanggungkan lakon Kebokicak, maka terkenalah mereka bala atau bencana. Jelas tanggapan ludrukannya bubrah, karena ada 1 atau 2 penonton atau pemainnya yang kerasukan entah oleh dedemit atau arwah Kebokicak.
Nah, Pak Ngaidi ini kira-kira mulai menulis sekitar tahun 2000-an. Terbilang sangat jarang orang ludruk mampu meluangkan waktu untuk menulis, selain rendahnya tingkat pendidikan mereka. Cerita Kebokicak yang ditulisnya tersebut terdiri dari 31 adegan. Adegan di sini dimaksudkan sebagai tulisan lakon ludruk yang dinarasikan, bukan yang telah dihafal terutama maupun oleh para pemainnya, yang kemudian antar pemain ini sudah tahu spelan (urutan dialog apa dan dengan siapa)-nya. Saya cuplikkan 2 adegan dari naskah Pak Ngaidi:
Adegan I
Amiluhur Lembu Peteng nrimo wisik soko Hang Murbeng Dumadi. Sak gugure Tumenggung Surono ilang ono Brantas Mojopait perbatasan Kediri. Koyo-koyo Mojopait sisih kulon kocak lan goncang. Akeh poro penduduk sing podo wedi lan ngungsi. Lan wisik sing ditrimo Lembu Peteng iku nyoto tur bener, ning nyatane sak wetane Brantas Mojopait ono sorot utowo ndaru rutuh kang warnane ijo lan abang tumibo ono alas Mojopait kang sisih kulon. Mulo Gusti Lembu Peteng nugasno lan mertopo ono nggone ndaru kang tumibo ono ing kunu.
Adegan 19
Ladang. Surontanu bebedak bawa Banteng Tracak Kencono ono alas kidul wilayah Mojopait ing kunu ketemu Kebokicak sing dikawal poro prajurit Mojopait. Terus Kebokicak ndangu adine Surontanu Adiku Di Surontanu suweh anggonku ngupadi marang kuwe Di sak metune soko dempokan aku kaprentah Bopo Guru Sopoyono toleki kuwe Di mung butue aku diutus nyuwun utowo njaluk ameng-amengmu yo Banteng Tracak Kencono minongko kanggo kekah lan digawe tumbal ono Dempok Cukir yo Tebuireng.
Critane ganti. Surontanu nyambung. Kakangmas Kebokicak kulo mboten bakal mulungaken Banteng Tracak Kencono ten sinten kemawon senajan toh Bopo Guru piambak engkang nyuwun. Sebab kulo sampun sumpah kaliyan Banteng Tracak Kencono mati Surontanu mati Banteng Tracak Kencono saboyo urip lan saboyo pati. Mulo Kakangmas Kebokicak kulo mboten saget pisah serambut kalian ameng-ameng kulo.
Kebokicak ndangak, langsung nyambung. Adi Surontanu berarti kuwe ora mesakake kawulo ing dempokane Bopo Guru Sopoyono. Mulo Adimas Surontanu, Banteng Tracak Kencono iku kewan wis jamak digawe lumprah nek kenek digawe kekah ono dempok Tebuireng kunu lan kanggo tumbale pedempokane kuwe lan aku. Mulo Adi Surontanu oleh tak jaluk ora oleh tetep tak suwun Banteng Tracak Kencono.
Surontanu ngadek sambil nyandak keluane Banteng Tracak Kencono, baru nyambung. Kakangmas Kebokicak ing ngarep aku wis ngomong sopo wae njaluk banteng ameng-amengku iki ora bakal tak wulungake.
Kebokicak ngadek samujajar marang adine Surontanu sambil ngomong keras sampek dadekno geger. Hee, adiku Surontanu jelas kuwe ora mesak ake sedulurmu seng ono padempokan kono. Mulo dino iki Banteng Tracak Kencono oleh tak jaluk ora oleh bakal tak rebut. Akhirnya geger Surontanu lan Kebokicak. Surontanu kasoran yudo Banteng Tracak Kencono disaut digowo mlayu lan playune Surontanu ngalor nyasak tanduran parine wong karang perdesan. Perjalanan Kebokicak mbujung lakune Surontanu. Kebokicak bengok kanti Bende Tengoro ing kunu ngrapal Aji Begandan. Kebokicak ngerti playune Surontanu. Ehladalah, playune Surontanu ndadak nyasak parine wong karang perdesan. Ngertenono prajurit Mojopait lan wong karang perdesan kene iki besok keno diarani Deso Parimono kaseksanan bumi lan langit, suket lan gegodongan. Kebokicak langsung mbujung lakune Surontanu.
Ganti perjalanan Surontanu. Ing alas kunu Surontanu ape gawe delikan. Ben ora dingerteni marang Kakang Kebokicak. Ing alas kunu ono uwit mojo sing cacahe songo. Surontanu urung sampek klakon gawe plindungan tiba-tiba Kebokicak dikawal prajurit Mojopait lan Surontanu siap mentang panah. Busur panah diluncurno arepe manah Kebokicak. Ning nyatane keno prajurit Mojopait sing cacahe songo nemoni praloyo pati. Terus Surontanu mlayu ngulon tolek dedelikan kanggo nylametno Banteng Tracak Kencono.
Lari. Sak mlayune Surontanu, Kebokicak tambah ngamuk, eleng-eleng prajurit seng ngawal Kebokicak cacahe songo mati keno panahe Surontanu. Kebokicak langsung ngomong marang sesah prajurit sing ngawal pati, hee, prajurit sing ngawal aku kabeh ngertenono kanggo tetenger besok rejane jaman papan kene kenek diarani Deso Mojo Songo. Mulo prajurit saksenono. Sabanjure Kebokicak jenengake deso langsung bujung lakune Surontanu lan Banteng Tracak Kencono.
Dua penggalan adegan di atas selanjutnya dalam tilikan sastra tutur maupun sastra tulis menjadi rangkain plot dan konflik dari cerita geger Kebokicak memburu Surontanu. Dari versi santri, diceritakan bahwa tersebutlah nama Padepokan Pancuran Cukir yang kala itu diserang pagebluk. Guru sepuh padepokan itu, Ki Ageng Sopoyono, dapat wangsit berupa bahwa untuk mengatasi wabah itu satu-satunya cara adalah dengan menumbalinya dengan hewan berbulu putih. Ki Ageng Sopoyono memiliki dua murid: Ki Ageng Buwono dan Ki Ageng Pranggang. Ki Ageng Buwono memiliki anak perempuan bernama Wandan Manguri yang dikawin oleh Pamulang Jagad. Dari keduanya lahirlah Joko Tulus alias Kebokicak. Sementara Ki Ageng Pranggang punya putri bernama Niluh Padmi yang bersuamikan Tumenggung Surono. Dari keduanya lahirlah Joko Sendang atau Surontanu. Dari peristiwa pagebluk itu, kemudian Surontanu atau Joko Sendang ditugaskan untuk mengatasinya. Namun ia tidak bisa. Ia hanya dapat seekor banteng yang bisa tata jalma (dapat berbicara). Banteng ini bernama Banteng Tracak Kencana yang  tubuhnya disusupi dua siluman Lirih Boyo dan Bantang Boyo. Karena Surontanu tidak mau menyerahkan Banteng Tracak Kencana, dan ia melarikan diri, maka Kebokicaklah yang kemudian diperintah untuk merebut rajakaya itu. Kebokicak mempunyai ajian: Bende Tengoro (Canang Baung), Singo Begandan (Singa Pelacak), Rompi Lulang Kebo Landung (Rompi Kekebalan Kulit Kerbau), dan Gedruk Gongseng (Krimpyingan Penggedruk). Sedangkan Surontanu hanya punya Ajian Kekebalan dan Banteng Tracak Kencana.
Tukang Cerita dan Jejak Kampung
            Cerita Kebokicak yang lebih masyhur salah satunya adalah saat pengejaran Kebokicak terhadap Surontanu untuk memperebutkan Banteng Tracak Kencana. Jejak-jejak pengejaran itu menilaskan nama-nama kampung atau desa yang hingga kini nyata ada dan menjadi bagian admistratif struktur pemerintahan Kabupaten Jombang. Riwayat kampung, rangkaian pencerita dari masa ke masa, kadar orisinalitas, validitas, pun susupan-susupan yang berkelindan, turut serta membentuk sebuah unggunan naratif yang membuka lebar beragam sumber yang saling mengisi. Seperti apakah para tukang cerita mengudar si cerita, yang tak lepas dari tendensi dan subyektifitasnya, menggelar pengisahan Kebokicak dari waktu ke waktu, hingga dari cucu ke cucu? Yang pasti, tukang cerita bergerak di ambang yang mistis dan di sisi lain tak lebih imajinatif belaka. Di bawah ini beberapa nama kampung atau desa yang menjadi arena pengejaran itu:
(1) Parimono: Surontanu lari bersama Banteng Tracak Kencono. Tibalah ia di sebuah persawahan nan luas. Kebokicak datang bersama 9 nawabayangkari. Terkejut melihat Kebokicak, Surontanu mengentakkan tali banteng dan nyasak pepadian yang menghampar. Kebokicak menggeleng geram menyaksikan itu. Maka lahirlah sebutan Parimono (padi yang disasak hingga rusak).
(2) Mojosongo: Surontanu membikin persembunyian dari akar-akaran, ranting-ranting, dan daun-daun klaras, sementara di sekitarnya dikitari pepohonan maja. Ia membawa panah. Kebokicak datang bersama 9 nawabhayangkari. Pertarunganpun berkecamuk. 9 prajurit Kebokicak binasa oleh panah Surontanu.
(3) Jambu: Surontanu terbirit-birit ke arah barat. Mengikat bantengnya di sebuah pohon jambu milik Ki Dumadi. Belum sempat beristirahat nyenyak, Kebokicak pun datang.
(4) Jombang: Surontanu lari ke utara. Menemukan kolam. Ada rumah beratap jerami, alang-alang, lalu ada pemandian kerbau. Ada cahaya ijo dan abang dari dasar kolam melesat ke langit dan menebarkan cahaya yang terang cemerlang. Keduanya bertemu dan terjadilah percekcokan. Pertarungan sengit. Surontanu terpukul mundur. Ia lari ke arah timur. Kolam jadi acak-acakan.
(5) Ringincontong: Ada pohon beringin raksasa. Seumpama ada 10 orang mengitarinya dengan membentangkan kedua tangan maka tak bakal mencukupinya. 9 nawabhayangkari dating membantu Kebokicak. Mereke bertempur lagi. Mereka tak kuasa mengatasi kanuragan Surontanu. Kebokicak turun tangan. Ia mengeluarkan aji Singo Begandan, dan Bende Tengoro. Surontanu kewalahan. Ia lari ke tenggara.
(6) Mojongapit: Ada sekelompok tayub menggelar pertunjukan. Surontanu masuk ke situ. Menyamar. Lalu muncullah siluman Sardulo Onggo Bliring (berupa macan loreng). Ternyata siluman ini adalah kawan Kebokicak. Si Bliring mencekik Surontanu. Menjepit lehernya dengan kayu randu. Surontanu meronta-ronta. Kebokicak muncul. Bliring terkaget sebentar, dan jepitannya terlepas. Surontanu sedikit dapat bernapas, lalu ia lari lagi ke tenggara.
(7) Sumber Peking: Tampaklah rumbukan pring yang rimbun. Terdengar mata air yang jernih yang menggemericik deras bak bunyi alat peking. Surontanu bermalam di situ, di sebuah rumah seorang janda bernama Nyi Gulah. Kebokicak datang. Namun Surontanu telah pergi ke barat kala terbit fajar.
(8) Sumber Sapon: Di pagi yang mulai terik itu ada seorang janda menyapu halaman rumahnya, ketika Kebokicak datang dan menanyakan padanya adakah seorang lelaki berbaju hijau lewat di situ. Si janda mengiyakan. Sardulo Onggo Bliring yang mengikuti Kebokicak menyarankan untuk terus mengejar. Mereka bergerak lagi dan singgah di Desa Karang Kejambon. Kebokicak meminta Bliring untuk jalma menus (menjadi manusia) seperti dirinya. Ini diniatkan Kebokicak untuk sementara waktu menggantikan posisinya untuk mengatur desanya. Kebokicak meminta penduduk agar atap rumah  mereka dpasangi welit atau daduk tebu. Bliring sendika dawuh atas perintah itu. Kebokicak bergegas mengejar Surontanu.
(9) Bantengan: Sejak mula desa ini memang bernama Bantengan. Surontanu sembunyi di situ. Di rumahnya sendiri. Tampaknya Niluh Padmi, ibu Surontanu, sedang memberikan sebungkus nasi pada anaknya itu. Surontanu tak menceritakan apa yang terjadi. Sehabis makan, ia pamit. Tak lama kemudian, Kebokicak tiba. Perbincangan singkat. Niluh padmi terperanjat mendengar cerita Kebokicak. Ia menangis dan meminta pada Kebokicak agar berdamai dengan Surontanu. Kebokicak berjanji akan bertindak yang terbaik, jika Surontanu mau menyerahkan Banteng Tracak Kencana. Lalu Niluh Padmi menunjukkan bahwa Surontanu lari ke barat.
(10) Tamping Mojo: Ada arak-arakan temanten yang merayakan perkawinan Joko Tamping dan Siti Wulanjar. Surontanu menyusup ke dalam arak-arakan. Kebokicak datang memberitahu bahwa di dalam rombongan itu ada perusuh bernama Surontanu. Joko Tamping tahu lalu melawan Surontanu. Ia dikeplekkan Surantanu sampai pingsan lalu mati. Siti Wulanjar menjerit-jerit sambil bersimpuh memeluk mayat Joko Tamping. Kebokicak tertegun dan sekejap ia tak kuasa bertindak. Cepat-cepat Surontanu kabur ke selatan.
(11) Ngrawan: Kebokicak tak segera mengejarnya. Ia memulangkan Siti Wulanjar ke rumah orang tuanya. Lalu daerah si pengantin malang itu diparabi Desa Ngrawan.
(12) Nglungu: Kebokicak kemalaman, dan plonga-plongo (tolah-toleh), di jalan dan melihat arah barat dengan mata ngungun. Lamunannya melendot panjang ke entah.
(13) Petengan: Kebokicak tampak putus asa, ia duduk lesu di sebongkah bangkai kayu, langit terasa gelap menyelimuti hatinya. Membayangkan angkasa terasa pahit dan berkabut tebal di Karang Kejambon.
(14) Glugu: Surantanu lari ke utara. Ia menemukan glugu yang roboh melintang di kali Konto (anak sungai Brantas). Kebokicak datang. Surantanu mecetat  (lari cepat) ke timur.
(15) Dukuh Klopo: Di tempat ini Surantanu membangun benteng dari batang-batang kelapa. Pancang-pancang yang kokoh. Kebokicak tiba. Ia lari ke timur.
(16) Tengaran: Ini tempat Surontanu memasang umbul-umbul berwarna-warni. Kebanyakan berwarna hijau. Ketika Kebokicak menyusul, ia kabur ke arah utara.
(17) Ndero: Surontanu memasang bendera perang warna merah. Lalu ia lari ke barat saat Kebokicak datang.
(18) Kandang Sapi: Banteng Surontanu menyelinap di kandang sapi milik Ki Wongso. Kebokicak datang. Dialog dengan Ki Wongso. Surontanu lari ke utara.
(19) Kedung Betik: Surontanu mandi di kedung atau telaga yang banyak ikan betiknya. Kebokicak datang. Surontanu lari ke barat.
(20) Tenggulukan: Surontanu sembunyi di Rawa Perning. Surontanu ketemu dengan siluman Celeng Kecek yang mengusili si banteng Tracak Kencana. Lalu Celeng Kecek dibunuh Surontanu. Kebokicak datang. Surontanu lari ke utara. Celeng Kecek ditengguluk (dipanggul) Kebokicak, sebab ia dianggap telah membantunya, lalu dikuburkan di dekat kali Brantas.
(21) Keboan: Banyak orang mengguyang (memandikan) kerbau. Surontanu dan Kebokicak bertarung sampai tewas di situ. Dua siluman Bantang Boyo dan Lirih Boyo keluar dari Banteng Tracak Kencana lalu membenamkan banteng itu di dasar kali Brantas. 9 nawabhayangkari yang barus saja datang hendak membantu Kebokicak langsung dibinasakan oleh dua siluman itu. Batu gilang, siluman Buntung Boyo.
Ihwal 13 Versi Kebokicak
Dari 13 versi cerita Kebokicak yang disusun mahasiswa STKIP PGRI Jombang di atas, ada beberapa versi yang patut dicermati, selain beberapa versi lain yang serupa. Seperti versi Joko Tulus (Kebokicak Karang Kejambon) dengan narasumber Sukono. Versi ini agak ganjil dari versi umum. Saya coba rangkum point pokoknya:
Sosok Joko Tulus berasal dari Tulungagung, dekat Gunung Kelud. Ia ingin mengembara demi menguasai suatu wilayah di utara yakni Jombang. Lalu dilarang ibunya, tapi ia membangkang, maka ibunya mengutuknya jadi Kebokicak. Kebokicak ini tetap meneruskan kembara ke Jombang. Di tengah jalan bertemu kakek sakti bernama Ki Surontanu lantas ia menjadi gurunya. Kebokicak lalu melamar putri Majapahit (tidak disebutkan nama sang putri) dalam bentuk sayembara. Ia menang, tapi lamarannya ditampik. Ia balik ke padepokan Bantengan, dan diberi pusaka Kalung Kuning oleh Ki Surontanu. Kalung ini dapat direbut oleh Putri Majapahit dengan muslihat halus. Kebokicak tak berdaya, namun tak dibunuh dan pulang ke Bantengan. Ki Surontanu membawanya ke Kiai Muchtar di Banyuarang untuk disembuhkan. Ia sembuh, lalu masuk Islam. Karena di Banyuarang terjangkit pagebluk, ia diutus Kiai Muchtar untuk pinjam pusaka Tracak Kencana kepada Ki Surontanu sekaligus mengajaknya masuk Islam. Ki surontanu menolak seraya nyumpah-nyumpah. Terjadilah perang tanding antar keduanya. Ki Surontanu kalah. Pergi bertapa. Ia nantang Kebokicak lagi dengan membawa keris saktinya dan mampu menebas leher Kebokicak. Jasad Kebokicak digotongnya dan ditenggelamkannya ke wilayah berlumpur di Sendang Biru. 
Coba kita simak lagi versi Banteng Tracak Kencana dengan narasumber Jamadi yang saya sarikan berikut ini:
Disebutkanlah Raja Wijaya di masa Majapahit mengalami kemunduran di bawah bayang-bayang serangan Demak. Ia memiliki selir namanya Arum Sari. Mereka punya 3 putra: Jaka Samar, Jaka Suwana, dan Jaka Suwandi yang tinggal di Desa Karang Jambu. Ketiga putra ini memperdalam ilmu ke wilayah selatan di perguruan Eyang Sandi atau Kiai Soponyono di Desa Sumonyono. Waktu belajar silat, Jaka Suwandi hilang dan dicari-cari. Eyang Sandi mengutus Jaka Samar mencarinya. Sampai ke utara. Menjelang petang baru ketemu. Jaka Samar marah, lalu menyemprot adiknya itu dengan sebutan Jaran Kecek. Suatu kali Arum Sari nyambangi mereka. Di pendapa perguruan ia menyaksikan dua pemuda berlatih tarung. Arum Sari berteriak coba menghentikan mereka. Namun tak dipedulikan. Ia amat jengkel dan meneriaki kelakuan mereka seperti kerbau. Seketika salah seorang pemuda yang tampak piawai bertarung itu kepalanya menjelma menjadi kepala kerbau. Ia tak lain adalah Jaka Samar yang kemudian berjuluk Kebokicak yang sakti. Eyang Sandi menghadiahi Jaka Suwandi karena budi pekertinya berupa hewan bersebut Banteng Tracak Kencana. Suatu hari Kebokicak ingin meminang Pandan Sari. Tapi dengan syarat harus menyerahkan Banteng Tracak Kencana. Kebokicak menyanggupi. Namun Surontanu menolak menyerahkannya. Ia lari. Dikejar Kebokicak. Mereka bertarung. Surontanu lari lagi. Tarung lagi. Surantanu keteter, lari ke rawa-rawa bertebu di barat Desa Sumonyono. Dalam pengejaran Kebokicak itu, jajaran lebat tebu itu seketika menjadi hitam warnanya sebab pengaruh Ilmu Panglimunan Kebokicak. Jadilah kelak daerah itu diparabi Tebu Ireng. Surontanu terus lari ke barat, istirahat di mata air yang berwarna biru yang kemudian tempat itu bersebut Balung Biru. Lalu ia terus berlari dan bersembunyi di jajaran rimbun pohon nangka. Daerah itu kelak berjuluk Sumber Nangka. Kebokicak dapat mengejarnya. Tanding lagi. Surontanu lari ke daerah utara yang dipenuhi daun talas. Bau si banteng dapat dikenali Kebokicak di balik rimbunan daun talas dan tempat ini kemudian bersebut Desa Bantengan. Mereka tarung lagi. Surontanu berhasil membelah jadi dua tubuh Kebokicak. Dengan ilmu Pancasunya, Kebokicak bangkit dari kematian dan mengubah dirinya menjadi macam putih. Ia mengejar Surantanu kembali ke utara di daerah Karang Jambu. Mengubah dirinya lagi menjadi manusia bersebut Sargula. Mengejar lagi. Bertemu. Tarung lagi. Si pengejar kembali lagi ke ujud asalnya: Kebokicak. Pertarungan makin dahsyat dan menghebat hingga memercikkan cecahaya hijau dan merah sampai membelah langit malam yang kian menggelap. Daerah itu karena bertabur berpercikan cahaya ijo dan abang yang menakjubkan maka di kemudian waktu diparabi menjadi Jombang. Si Banteng Tracak Kencana tewas terkena panah Kebokicak. Surantanu kalap. Kebokicak juga kalap. Mereka bertarung kian menggila. Sampai sama-sama tak berdaya. Hingga sama-sama mati keduanya.  
            Dalam versi cerita Telatah Surantanu, bernarasumber Purwito, yang menyebut dirinya sebagai keturunan ke-4 dari Surantanu, tampaknya perlu dipertanyakan. Surantanu yang mana? Adakah kaitannya dengan asal-usul Jombang, yang sebagian besar dari 13 versi cerita menyebut itu walau dengan fragmen, plot, dan tokoh-tokoh, tempat kejadian, munculnya sisipan tokoh lain, nama samaran, yang perlu dicermati kembali sebab ada yang sama juga ada yang berbeda? Pada versi itu Surontanu dimunculkan di masa Majapahit yang mengalami penjajahan Belanda. Ini jelas ahistoris. Lalu cerita bergeliat hingga muncul sosok warok Suromenggolo dari Ponorogo. Lalu pada versi cerita Desa Randu Watang, diceritakan bahwa Jaka Tulus alias Kebokicak memiliki bapak seorang panglima bernama Siro Manggu. Akhir cerita menyebutkan soal pertarungan kebokicak melawan Surontanu yang juga menilaskan jejak persabungan mereka misalnya meninggalkan nama kampung Gedangan dan sungai Gelugu, lalu muncul Walang Kecik yang memusuhi Kebokicak, juga lahir Desa Ngemprak, perkelahian terus berlanjut ke timur lalu beralih ke utara, sampai dua orang ini sama-sama mati di tengah-tengah pertempuran. Tubuh mereka disaksikan orang-orang yang lewat di situ. Di antara warga ini menggoyang-goyangkan jasad mereka dengan sebatang watang (dari ranting pohon randu) untuk membuktikan apakah mereka telah mati. Maka lahirlah Desa Randu Watang atas kejadian itu.
Bagaimanakah pembaca yang, setidaknya, pernah akrab dengan cerita Kebokicak versi santri yang saya cuplikkan di awal menilai 2 versi lain dari narasumber Sukono dan Jamadi? Ada kembangan cerita lain di sana, bergerak sendiri, bersemayam jauh di kedalamannya, saling susup-menyusupi, yang tentunya menyimpan “dunia sunyi” masing-masing dalam ingatan kolektif sosialnya. Satu anggapan, yang sebenarnya sah-sah saja namun terkesan gegabah, kala mengaitkan cerita Kebokicak dengan lahirnya daerah Jombang. Tradisi lisan dan mitos tentang sosok ini begitu dominan, walau tidak semua warga Jombang tahu. Karena itu tetap membutuhkan kajian historis spesifik secara akademis, bukan sekadar beranjak dari legenda untuk menautkan dan selanjutnya menemukan titik-terang kesejarahan sebuah wilayah.


Tragedi longsor diJombang Jawa Timur









Makam K.H. Abdurahman Wahid atau yang dikenal dengan sebutan (Gusdur) di Jombang Jawa Timur








Pesta Durian di desa Wonosalam







Tidak ada komentar:

Posting Komentar